Oleh: Dhesy Anang Kurnia, S.Pd
MEMASUKI semester kedua di tahun ajaran baru,
sekolah-sekolah sudah mulai gencar mempromosikan diri. Perkembangan cara
memilih sekolah berubah seiring perkembangan cara sebuah sekolah
dikelola. Dulu, memilih sekolah cukup sederhana, orangtua cukup memilih
sekolah
negeri karena dulu sekolah swasta perkembangannya tidak sepesat
sekarang. Sekarang jumlah sekolah banyak dan memiliki karakter yang
beragam. Sekolah negeri tidak pasti baik kualitasnya, sebaliknya sekolah
swasta tidak pasti buruk.
Menilai sekolah janganlah sekedar melihat fisiknya saja. Sesungguhnya
banyak orangtua sering tertipu karena cenderung melihat kualitas
sekolah dari gedung atau kelengkapan fasilitasnya.
Padahal, bagian yang paling penting dari sebuah sekolah adalah
gurunya dan para pendidiknya. Para pembimbing anak kita dalam memperoleh
ilmu.
Konsep dan objek Ilmu dalam Islam
Ilmu dalam pandangan Barat dan pandangan Islam berbeda. Ilmu yang berasa dari kata ‘ilm oleh seorang pakar filologi al Raghib didefinisikan sebagai persepsi suatu hal dalam hakikatnya.
Menurutnya, Ilmu adalah segala sesuatu yang menyangkut hakikat yang tidak berubah. Dalam The Concept of Education in Islam, Prof. Syed Muhammad Naquib Al-Attas mensintetiskan ilmu sebagai tibanya makna dalam jiwa sekaligus tibanya jiwa pada makna.
Dalam pandangan Islam objek Ilmu ada dua yakni alam metafisik, yakni alam yang tidak nampak (‘alam al-ghayb), hal-hal yang tidak bisa dibuktikan dengan indra manusia. Satunya adalah alam fisik (‘alam al-sahadah) yang terindra. Kedua alam inilah yang menjadi menjadi objek ilmu.
Memilih pendidik dalam Islam
Hal yang terpenting setelah pemaparan tentang ilmu dan objek ilmu,
maka seorang pendidik tentu harus paham hakikat ilmu, kemudian paham
objek ilmu. Yang terjadi saat ini banyak pendidik khususnya guru yang
memandang bahwa ilmu adalah apa yang diindera saja. Hal ini akibat
adanya sekulerisasi ilmu yang memisahkan alam yang nampak dan tidak
nampak tadi. Bahayanya sekulerisasi ini bisa membuat seseorang menjadi
atheis, sebab memisahkan hal-hal yang nampak (bisa dijelaskan dengan
akal) dan hal yang tidak nampak (bisa dijelaskan dengan Wahyu).
Sehingga seorang pendidik harus memiliki pemahaman mengenai sumber ilmu, khabar sadiq. Secara umum, Khabar artinya ‘berita, informasi, cerita, riwayat, pernyataan, ucapan’. Khabar bisa diklasifikasi menjadi dua, khabar yang benar (shadiq) dan khabar palsu (khadib).
Khabar Shadiq menurut Imam an-Nasafi ada dua, Khabar Mutaswatir yakni informasi yang tidak diragukan lagi sehingga khabar mutawatir
ini adalah sumber ilmu yang tidak diragukan lagi, pasti kebenarannya.
Kedua, ialah sumber ilmu yang berasal dari para rasul yang diperkuat
dengan mukjizat. Klasifikasi kedua ini jika diriwayatkan oleh banyak
sumber sehingga tidak mungkin bohong atau salah maka bisa mutawatir.
Pendidik, adalah figur pembimbing juga pentranfer Khabar Shadiq ini. Sehingga selain pemahamannya tentang khabar shadiq harus dimiliki, pendidik juga harus memiliki karakter sebagai pembawa khabar shadiq.
Imam Muhammad ibn Ali ibn Muhammad as-Syaukani, mengenai pembawa khabar,mensyaratkan setidaknya ada lima.
Pertama, sumbernya harus seorang mukallaf yakni seorang yang
sudah terkena kewajiban melaksanakan perintah Islam. Oleh karena itu,
anak-anak dan orang gila tidak memenuhi sebagai pendidik.
Kedua, harus beragama Islam. Konsekuensi dari ilmu
pengetahuan yang berasal dari Wahyu Allah maka seorang pendidik haruslah
dipilih yang beragama Islam, sebab seorang muslim tentu minimal
mengakui kebenaran wahyu Allah Subhanahu Wata’ala.
Ketiga, memiliki ‘adalah, yaitu integritas moral pribadi yang menunjukkan ketakwaan dan kewibawaan diri (Muru’ah)
sehingga menimbulkan kepercayaan orangtua / siswa kepada pendidik
tersebut. Termasuk dalam hal ini meninggalkan dosa-dosa besar dan
menjauhi dosa-dosa kecil. Sehingga Orang fasiq, tidak pantas menjadi
pendidik anak-anak kita.
Keempat, memliki kecermatan dan ketelitian. Mendidik
bukanlah pekerjaan yang main-main, sehingga pendidik yang cermat dan
teliti memiliki sifat yang jauh dari sembrono dan asal-asalan. Kelima,
pendidik harus memiliki sifat jujur dan terus terang sehingga tidak
menyembunyikan ilmu.
Imam Malik ibn Anas pernah berkata, “Ada empat orang yang ucapannya
tidak usah ditulis: (1) Orang bodoh yang sudah terkenal kebodohannya;
(2) Pengikut hawa nafsu yang sudah terlalu sesat lalu mengajak orang
lain kepada kesesatannya itu; (3) orang baik-baik yang tidak paham apa
yang diucapkannya; (4) orang yang berdusta berkenaan hadits Rasulullah.”
Sekiranya itu, sedikit yang orangtua bisa renungkan ketika
mempercayakan pendidikan anak tidak hanya berdasarkan hal-hal fisik dari
sekolah. Namun juga memperhatikan dari sisi hal yang tidak Nampak, dari
para pendidik di sekolah itu.*
Penulis adalah guru di Madrasah Pondok Pesantren Asy-Syifa’
Muhammadiyah Yogyakarta. Sebagian artikel disarikan dari buku “Filsafat
Ilmu: Perspektif Barat dan Islam” oleh Dr. Adian Husaini
Sumber: hidayatullah dot com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar